Hidup Indah Ala Rasulullah
Perilaku Rasulullah |
Pendahuluan
Nabi
Muhammad saw adalah contoh teladan terbaik dan tipologi ideal paling
prima. Hal ini digambarkan oleh al-Qur’an surat Al-Ahzab, 33: 21 yang
berbunyi:
(Sesunggunya
pada diri Rasulullah saw. terdapat contoh tauladan bagi mereka yang
menggantungkan harapannya kepada Allah dan Hari Akhirat serta banyak
berzikir kepada Allah).
Namun demikian, Nabi Muhammad saw. tetap saja sebagai seorang manusia seperti manusia lain yang dipimpinnya, sebagaimana ditegaskan dalam surat Al-Kahfi/18: 110:
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ
(Katakanlah, sesungguhnya saya adalah manusia seperti kamu, yang diberi wahyu bahwa Tuhan kamu ialah Tuhan yang satu).
Ketauladanan
Nabi diambil, antara lain, karena ia mampu menghadapi berbagai masalah
yang dihadapi tanpa kehilangan keseimbangan, tanpa kehilangan idealisme
dan tanpa surut dari sebuah missi. Itulah sebabnya Michael H. Hart,
dalam bukunya “Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah Umat
Manusia”, menempatkan Nabi Muhammad Saw sebagai tokoh Nomor Satu yang
paling berpengaruh dalam sejarah kehidupan manusia. [1]
Sebelum
diangkat sebagai nabi dan rasul, Muhammad saw memang sudah sedemikian
sempurna dalam berbagai perilaku dalam kehidupannya. Terlepas dari
keyakinan bahwa hal demikian memang sudah digariskan oleh Allah SWT
karena sesungguhnya Beliau ma’sum (terjaga) dari segala kerusakkan dan
dosa. Sejarah mencatat, saat baru terlahir Muhammad kecil sudah
dido’akan dan ditawafkan dihadapan ka’bah oleh kakeknya Abdul Muthalib.
Ini menandakan bahwa dari kalangan orang tuanya sangat berperan menjaga kesucian Muhammad saw.
Terlebih lagi setelah itu Muhammad disusukan kepada orang yang
benar-benar terseleksi, benar-benar tidak terkontaminasi oleh pola
kehidupan tidak sehat. Setelah disusukan oleh Suaibah Al-Aslamiyah,
Muhammad kemudian disusukan oleh Halimatussa’diyah dan dibawa tinggal
bersama di pemukiman yang jauh dari keramaian kota, jauh dari hiruk
pikuk dan kebiasaan jahiliyah para penduduk kota.
Masa
kakak-kanak Muhammad dilalui dengan menggembalakan kambing, beliau
sudah menampakkan sikap terpuji – dapat dipercaya – mengurus hewan
peliharaan orang lain. Di saat-saat menggembalakan kambing inilah
terjadi proses penyucian diri Muhammad dari berbagai sifat-sifat buruk,
peristiwa tersebut dikenal dengan “pembelahan dada”. Walau masih
terdapat perbedaan pendapat tentang teknis yang pasti tentang pembelahan dada,
yang terpenting dari peristiwa itu adalah tampilnya seorang Muhammad
yang penuh dengan sifat-sifat terpuji seperti jujur, amanah dan
sebagainya.
Walaupun
Muhammad terlahir dalam status yatim setelah ditinggal wafat
Ayahandanya Abdullah ketika beliau masih dalam kandungan, ditambah pada
usianya yang ke-6 menjadi yatim dan piatu pula karena ditinggal
Ibundanya Siti Aminah. Dua tahun kemudian ditinggal pula oleh kakeknya
Abdul Muthalib. Kesedihan yang bertubi-tubi itu tidak mengikis semua
keteladanan yang ada pada diri beliau, malah semua itu laksana kawah candra dimuka
yang makin mengkokohkan pribadi beliau. Ini terlihat ketika terjadi
perselisihan antara para kabilah suku Quraisy, akhirnya melatarbelakangi
penganugerahan gelar Al-Amin kepada beliau. ketika ka’bah harus
direnovasi akibat diterjang banjir para kabilah mempercayakan kepada
beliau untuk memindahkan hajarul aswad. Di
saat penduduk Makkah terperangkap dalam sebuah pertengkaran tentang
kabilah mana yang harus mendapat kehormatan mengangkat dan menempatkan
kembali batu tersebut di tempatnya semula. Ketika persoalan ini sudah
berjalan lima hari dan hampir menyebabkan pecahnya perang antar-suku,
Muhammad datang dengan solusinya yang sudah sangat terkenal itu. Ia
meletakkan batu hitam di atas selendang dengan empat sisi dan mengajak
semua ketua suku mengangkatnya bersama-sama, lalu meletakkannya di
tempat semula. Gelar Al-Amin tersebut, beliau dapat jauh sebelum beliu diangakat menjadi nabi dan rasul. Al-Amin artinya orang yang dapat dipercaya.
Keteladanan Rasulullah
Berdasarkan
Al-Qur’an surat Al-Ahzab, 33 : 21 setiap muslim atau muslimah yang
ingin memperoleh rahmat Allah, bahagia dunia dan akhirat harus
menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai suri teladan. Keteladanan beliau
secara garis besar dapat dibagi antara lain menjadi keteladanan dalam
hidup berumah tangga, keteladanan sebagai pemimpin umat dan keteladanan
sebagai pribadi muslim.
I. Keteladanan dalam Hidup Berumahtangga
Sebagai
kepala rumah tangga nabi Muhammad saw patut diteladani. Beliau
senantiasa berusaha agar rumahtangganya menjadi rumah tangga yang
memperoleh ridha Allah SWT. Untuk itu beliau selalu berusaha bersama
isterinya Siti Khadijah, agar mereka berdua bisa mewujudkan dan membina
rasa saling cinta mencintai, sayang menyayangi, horat menghormati,
saling menjaga nama baik dan tolong-menolong dalam kebaikan dann
ketakwaan.
Baliau
juga telah memelihara, mengasuh dan mendidik anak-anaknya dengan penuh
tanggung jawab serta kasih sayang sehingga anak-anaknya senantiasa
beriman dan bertakwa, serta hidupnya berguna dan berbahagia.
II. Keteladanan Sebagai Pemimpin Umat
Banyak yang harus diteladani dari Nabi Muhammad saw dalam hal memimpin umat, antara lain :
- Nabi Muhammad saw senantiasa menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada orang-orang yang dipimpinnya.
- Nabi Muhammad saw selalu berusaha agar persaudaraan sesama umat Islam (ukhuwah Islamiyah) terwujud.
- Nabi Muhammad saw sering bermusyawarah dengan para sahabat.
- Berusaha mengikis pengaruh kebendaan dari diri kaum muslimin.
- Nabi Muhammad saw adalah pemimpin yang konsekwen, teguh pendirian dalam menegakkan kebenaran dan keadilan.
III. Keteladanan Sebagai Pribadi Muslim
Sebagai
pribadi muslim banyak yang harus diteladani dari Nabi Muhammad saw.
Nabi Muhammad saw senantiasa berusaha memelihara dan meningkatkan
kesehatan, kebersihan dan keindahan tubuhnya secara islami. Dalam
hubungannya dengan sesama manusia Nabi Muhammad saw senantiasa
membiasakan diri dengan akhlak terpuji dan menjauhkan diri dari kahlak
tercela serta giat beramal shaleh yang bermanfaat bagi orang banyak.
Bahkan Allah SWT telah memujinya dengan sebuah firman : Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung. (QS. Al-Qalam, :4)
Nabi
Muhammad saw adalah seorang pribadi muslim yang memiliki rasa kasih
sayang yang tinggi, khususnya terhadap anak-anak yatim, para fakir
miskin dan orang-orang terlantar. Kasih sayang Nabi Muhammad saw bukan
saja terhadap sesama manusia, bahkan terhadap binatang. Rasulullah saw
bersabda: “Apabila kalian mengendarai binatang, berikanlah haknya dan janganlah menjadi setan-sean terhadapnya.” “seorang
wanita dimasukkan Tuhan ke neraka dikarenakan ia mengurung seekor
kucing, tidak diberinya makan, dan juga tidak dilepaskan untuk mencari
makan sendiri.”
Dalam kesempatan lain beliau bersabda: “Seseorang yang bergelimang di dalam dosa diampuni Tuhan, karena memberi minum seekor anjing yang kehausan.”
Terhadap
alam dan lingkungan, Rasulullah SAW menganjurkan kepada umatnya agar
melakukan usaha-usaha untuk mengambil manfaatnya, dan melestarikannya,
serta jangan sekali-kali melakukan pengrusakan.
Suatu hari pemimin kafir quraisy membuat sayembara untuk mendapatkan Muhammad baik dalam keadaan hidup ataupun mati
dengan imbalan seratus ekor unta. Pada saat tersebut muncul seorang
kontestan sayembara bernama Da’tsur. Ketika Muhammad melakukan
perjalanan, rupanya Da’tsur mengintai dari kejauhan. Karena terlihat
Muhammad berhenti untuk istirahat dan berteduh di bawah rindang pohon
sambil mengeringkan pakaiannya yang basah dengan peluh, maka tiba-tiba
Da’tsur menghampiri Muhammad dengan menghunuskan sebilah pedang seraya
berkata “Man yamna’uka minnî ya Muhammad? Siapa yang akan menghalangi (tajamnya pedang ini) dariku wahai Muhammad?
nabi Muhammad dengan tenang menjawab “Allah”. Seketika itu pedang
Da’tsur tejatuh dan dia dalam ketidakberdayaan lalu diambillah pedang
tersebut oleh Muhammad. “Wal ân man yamna’uka minî yâ Da’tsur ?” Dan sekarang siapa yang akan menghalangi (tajamnya pedang ini) dari Wahai Da’tsur. Muhammad mengarahkan mata pedang kepada Da’tsur. Dengan wajah ketakutan Da’tsur mejawab “Lâ ahad yâ muhammad” “Tidak ada wahai Muhammad”. Kemudian Da’tsur memohon maaf kepada Muhammad untuk dibebaskan. Permohonan itupun dikabulkan Nabi.
Ketika
nabi bersama umatnya berhijrah ke Thaif, sambutan yang diterima jauh
dari menyenagkan hati, malah bukan main menyakitkan perlakuan penduduk
Thaif kepada Nabi, mereka melempari Nabi dengan kotoran. Pada saat itu
datanglah Malaikat Jibril menawarkan jasa. “Hai muhammad jika engkau
kehendaki gunung yang ada dihadapanmu ini untuk aku timpahkan kepada
penduduk Thaif, niscaya sekarang juga aku lakukan.” Nabi menjawab “Jangan Jibril, semua itu dilakukan mereka karena ketidaktahuan meraka” kemudia nabi berdo’a “allâhumahdî qaumî fainnahû lâ ya’lamûn” “Ya Allah berikanlah hidayah kepada kaumku sesungguhnya mereka tidak mengetahui”
Kedua
cerita di atas menunjukkan sikap pema’af nabi yang begitu luar biasa
besarnya, orang yang jelas-jelas akan membunuhnya beliau bebaskan tanpa
syarat. Orang-orang yang jelas-jelas telah menghina dan menyakitinya
beliau selamatkan dari azab yang ditawarkan oleh malaikat. Subhânallâh. Begitu banyak perilaku rasulullah lainnya yang patut kita teladani sebagai pribadi muslim. Sekretaris MUI Sumatera Utara DR. H. Hasan Bakti Nasution, MA, mengungkapkan beberapa prilaku Rasulullah dengan istilah “strategi” bila nabi menghadapi krisis, antara lain sebagai berikut :
a. Dakwah bilhal.
Strategi lain yang dilaksanakan Nabi Muhammad Saw ialah dengan memberikan contoh praktis, yang disebut dengan dakwah bil-hal.
Kepribadian dan akar sosiologisnya yang kuat menempa Muhammad menjadi
seorang pemimpin yang dengan senang hati berpartisipasi dalam
melaksanakan segala urusan. Ia benar-benar memimpin, bukan hanya
memerintah. Pengalaman telah membuatnya tidak sungkan untuk melakukan
apa pun yang perlu dilakukan. Sejarah mencatat bahwa Muhammad menanggung
derita seperti derita yang dialami oleh pendukungnya dalam menyebarkan
Islam. Sejarah juga melaporkan bahwa ia bersama-sama pengikutnya turun
langsung dalam peperangan, merasakan pahit getir dan pedihnya terkena
tikaman pedang dan tombak musuh. Di balik kebesarannya yang tanpa
tanding, Muhammad adalah seorang yang dengan senang hati mengerjakan
perkerjaan kecil (seperti memperbaiki sandal atau menambal baju) yang
tak terbayangkan dikerjakan oleh kebanyakan pemimpin masa sekarang. Ia
memimpin tidak hanya dengan memberitahu apa yang harus dilakukan, tetapi
menunjukkan dan melakukannya bersama-sama mereka yang dipimpinnya.
b. Memulai dari diri sendiri.
Strategi mengatasi krisis yang paling ampuh ialah selalui memulai dari diri sendiri. Prinsip ini tertuang dalam hadits singkat:
إبدء بنفسك
(mulailah dari diri sendiri).
Strategi mengatasi krisis model ini cukup berhasil tidak terlepas dari beberapa faktor.
Pertama, kualitas moral-personal yang prima, yang dapat disederhanakan menjadi empat, yakni: siddiq, amanah, tabligh, dan fahtanah:
jujur, dapat dipercaya, menyampaikan apa adanya, dan cerdas. Keempat
sifat ini membentuk dasar keyakinan umat Islam tentang kepribadian Rasul
saw. Kehidupan Muhammad sejak awal hingga akhir memang senantiasa
dihiasi oleh sifat-sifat mulia ini. Bahkan sebelum diangkat menjadi
Rasul, ia telah memperoleh gelar al-Amin (yang sangat dipercaya)
dari masyarakat pagan Makkah. Pentingnya kualitas moral yang prima ini
kembali ia tekankan setelah menjadi utusan Tuhan dalam haditsnya:
Dari Abu Hurairah, Rasul saw. bersabda: Sesungguhnya aku diutus guna menyempurnakan kebaikan akhlak. (H.R. Ahmad, 8595).
Kedua, Integritas.
Integritas juga menjadi bagian penting dari kepribadian Rasul Saw. yang
telah membuatnya berhasil dalam mencapai tujuan risalahnya. Integritas
personalnya sedemikian kuat sehingga tak ada yang bisa mengalihkannya
dari apapun yang menjadi tujuannya. Ketika dakwahnya sudah mulai
dianggap sebagai gangguan serius oleh masyarakat Makkah, para pemukanya
mencoba membujuk Muhammad untuk berhenti. Namun ia dengan tegas menolak
setiap bujukan tersebut. Puncaknya adalah ketika kepadanya ditawarkan
kedudukan yang tinggi dalam sistem masyarakat Makkah serta sejumlah
besar kekayaan material. Pada lazimnya kedua tawaran tersebut akan
membuat orang goyah pendiriannya. Tetapi tidak demikian halnya dengan
Rasul saw. Dengan sangat tegas namun tetap santun ia menjawab: Kalaupun
mereka bisa meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan
kiriku, aku tetap tak akan bersedia menghentikan dakwah Islam. Tidak ada
yang dapat dipikirkan oleh para pembesar Makkah lagi untuk membobol
benteng integritas Muhammad, dan karena itu mereka pun lalu beralih pada
jalan kekerasan. Namun cara ini pun dihadapinya dengan kesabaran yang
berbuah keberhasilan.
Ketiga, kesamaan di depan hukum.
Prinsip kesetaraan di depan hukum merupakan salah satu dasar terpenting
manajemen Rasul saw. Menanggapi sebuah masyarakat yang memberlakukan
hukuman potong tangan kepada pencuri dari kelas bawah, tetapi tidak
menerapkannya kepada pencuri dari kalangan atas, Rasul saw. dengan tegas
bersabda:
Demi Allah, kalau sekiranya Fathimah binti Muhammad mencuri, maka aku sendiri yang akan memotong tangannya. (H.R. Bukhari, 3216)
Keempat,
Penerapan pola hubungan egaliter dan akrab. Salah satu fakta menarik
tentang nilai-nilai manajerial kepemimpinan Rasul saw. adalah penggunaan
konsep sahabat (bukan murid, staff, pembantu, anak buah,
anggota, rakyat, atau hamba) untuk menggambarkan pola hubungan antara
beliau sebagai pemimpin dengan orang-orang yang berada di bawah
kepemimpinannya. Sahabat dengan jelas mengandung makna kedekatan dan
keakraban serta kesetaraan. Berbeda dengan, misalnya, murid, staff, atau
pengikut yang kesemuanya berkonotasi tingkatan tinggi-rendah. Sahabat
lebih bermuatan kerjasama dua arah, saling melengkapi dan saling
menyempurnakan. Sahabat terasa sedemikian dekat, seolah tanpa jarak.
Konsep persahabatan memang benar-benar tepat menggambarkan realitas
hubungan yang terbina antara Rasul saw. dengan orang-orang di
sekitarnya. Inilah antara lain motivator yang telah membuat para sahabat
rela mengorbankan apa saja (seperti jiwa, raga, harta, waktu) demi
perjuangan Rasul saw. Sebab di dalam hati mereka merasakan bahwa
cita-cita Rasul saw. adalah juga cita-cita mereka sendiri, dan
keberhasilan beliau adalah juga keberhasilan mereka.
Kelima, kecakapan membaca kondisi dan merancang strategi.
Keberhasilan Muhammad saw. sebagai seorang pemimpin tak lepas dari
kecakapannya membaca situasi dan kondisi yang dihadapinya, serta
merancang strategi yang sesuai untuk diterapkan. Model dakwah rahasia
yang diterapkan selama periode Makkah kemudian dirubah menjadi model
terbuka setelah di Madinah, mengikuti keadaan lapangan. Keberhasilan
Rasul saw. dan para sahabatnya dalam perang Badr jelas-jelas berkaitan
dengan penerapan sebuah strategi yang jitu. Demikian pun peristiwa pahit
perang Uhud, adalah saksi kegagalan dalam menerapkan strategi yang
sesungguhnya sudah tersusun rapi dan rinci.
Keenam, tidak mengambil kesempatan dari kedudukan.
Rasul Saw. wafat tanpa meninggalkan warisan material. Sebuah riwayat
malah menyatakan bahwa beliau berdoa untuk mati dan berbangkit di
akhirat bersama dengan orang-orang miskin. Jabatan sebagai pemimpin
bukanlah sebuah mesin untuk memperkaya diri. Sikap inilah yang membuat
para sahabat rela memberikan semuanya untuk perjuangan tanpa perduli
dengan kekayaannya, sebab mereka tidak pernah melihat Rasul saw. mencoba
memperkaya diri. Kesederhanaan menjadi trade mark kepemimpinan
Rasul saw. yang mengingatkan kita pada sebuah kisah tentang Umar ibn
al-Khattab. Seseorang dari Mesir datang ke Madinah ingin bertemu dan
mengadukan persoalan kepada khalifah Umar ra. Orang tersebut benar-benar
terkejut ketika menjumpai sang khalifah duduk dengan santai di bawah
sebatang kurma. Tak ada tanda-tanda bahwa ia adalah seorang pemimpin
besar yang sangat berkuasa—ia tak berbeda dari orang-orang yang
dipimpinnya.
Ketujuh, visioner–futuristic.
Sejumlah hadits menunjukkan bahwa Rasul saw. adalah seorang pemimpin
yang visioner, berfikir dan mereka masa depan. Meski tidak mungkin
merumuskan alur argumentasi yang digunakan olehnya, tetapi banyak hadits
Rasul saw. yang dimulai dengan kata ‘akan datang suatu masa…’,
lalu diikuti sebuah deskripsi berkenaan dengan persoalan tertentu. Kini,
setelah sekian abad berlalu, banyak dari deskripsi hadits tersebut yang telah mulai terlihat dalam realitas nyata. Berikut adalah beberapa contoh hadits futuristik:
Kedelapan, menjadi prototipe bagi seluruh prinsip dan ajarannya.
Pribadi Rasul Saw. benar-benar mengandung cita-cita dan sekaligus
proses panjang upaya pencapaian cita-cita tersebut. Beliau adalah
personifikasi dari missinya. Oleh karena itu ia dengan mudah dimengerti
dan dengan berhasil menggerakkan masyarakatnya untuk sama-sama berupaya
keras mencapai tujuan bersama. Terkadang kita lupa bahwa kegagalan
sangat mudah terjadi manakala kehidupan seorang pemimpin tidak
mencerminkan cita-cita yang diikrarkannya. Sebagaimana sudah disebut di
atas, Rasul saw. selalu menjadi contoh bagi apa pun yang ia anjurkan
kepada orang-orang di sekitarnya.[2]
Penutup
Selaku
umat Islam, merupakan kewajiban bagi kita untuk mengikuti, mencontoh
dan menteladani semua perilaku terpuji rasulullah yang lebih dikenal
dengan istilah akhlakul karimah. Akhlakul karimah tersebut dapat kita
temui dalam berbagai literatur baik berupa sirah nabawiyah,
riwayat-riwayat sahabat beliau, maupun firman Allah yang termaktub dalam
Al-Qur’an. Bahkan sebagai pengamal dzikrullah kita telah mengenal
dzikir Lathaif, yang merupakan senjata ampuh untuk menanamkan akhlakul
karimah dan membunuh berbagai macam akhlak tercela.
Lathaif
merupakan bentuk jamak dari lathifah, yang artinya zat yang sangat
halus atau lembut. Lathaif yang dikenal dalam amalan thariqat
Naqsyabandiyah secara umum adalah sebagai berikut :
Ø Lathifathul Qalbi: ..., merupakan
sentral dari rohaniah manusia dan merupakan induk dari latifah-latifah
lainnya. Mazmumahnya (keburukannya) adalah hawa nafsu iblis dan setan,
cinta dunia, kafir dan sirik. Mahmudahnya (kebaikannya) adalah iman,
Islam, tauhid makrifat dan malaikat
Ø Lathifatur Ruh : ..., berhubungan
dengan paru-paru atau rabu jasmani. Mazmumahnya adalah sifat-sifat yang
tidak disukai oleh Allah yaitu sifat loba, tamak, rakus dan bakhil.
Sifat mazmumah lathifatur ruh ini juga dikatakan sifat Bahimiyah yaitu
sifat binatang ternak yang suka mengikuti hawa nafsu, makan, tidur,
seksual bersenang-senang dan segala sifat buruk lainnya. Mahmudahnya,
dengan hilangnya semua sifat sifat buruk tadi berganti dengan sifat
qanaah yaitu sifat menerima dengan syukur apa yang ditetapkan oleh Allah
untuknya, sambil berusaha menurut cara yang wajar sesuai dengan
ketentuan syari’at Allah SWT.
Ø Lathifatus Sir : ..., berhubungan
dengan hati kasar jasmani. Mazmumahnya adalah amarah (buas), pemarah,
pembengis dan pendendam kesumat. Sifat-sifat itu dikatakan juga sifat
Subu’iyah (sifat binatang buas) yang suka berbuat onar, kekejaman,
penganiayaan, permusuhan, penindasan, penzaliman dan sebagainya.
Mahmudahnya manakala lenyap sifat mazmumahnya, bergantilah dengan sifat
kesempurnaan, terutama sifat rahman dan rahim.
Ø Lathifatul Khafi : ..., berhungan
dengan limpa jasmani. Sifat mazmumah latifatul khafi ini dikatakan juga
sifat Syaithaniyah yang menimbulkan sifat was-was, khasad dengki,
khianat, cemburu, dusta, busuk hati, munafik mungkir janji dan
sebagainya. Mahmudahnya sifat syukur, ridho, sabar dan tawakkal.
Ø Lathifatul Akhfa : ..., berhubungan
dengan empedu jasmani. Mazmumahnya adalah segala sifat keakuan antara
lain sombong, takabbur, ria, loba tamak, ujub (membanggakan diri) dan
segala sifat-sifat keakuan yang lain, seperti akulah yang pandai, akulah
yang kaya, akulah yang gagah. Sifat mazmumah lathifatul akhfa ini
dikatakan juga sifat Rububiyah atau sifat Rabbaniyah yaitu sifat yang
hanya pantas bagi Allah SWT, sebab dialah pada hakekatnya yang memiliki
dan mengatur alam semesta ini. Mahmudahnya adalah sifat ikhlas, khusuk,
tadarruk dan diam untuk bertafakkur terhadap keagungan dan kebesaran
Allah SWT.
Ø Lathifatu Nafsin Nathiqah : ..., berhubungan
dengan otak jasmani. Mazmumahnya panjang angan-angan, banyak khayal dan
selalu merencanakan hal-hal yang jahat untuk memuaskan hawa nafsu.
Mahmudahnya nafsul muthmainnah yaitu sifat sakinah, tentram, berfikir
tenang.
Ø Lathifatu Kulli Jasad :
... Mazmumahnya adalah jahil, lalai, malas dan sebagainya. Mahmudah
adalah berilmu dan beramal sesuai dengan syariat dan hakikat.[3]
Dengan
demikian jelaslah bahwa thariqat dan akhlak sangat berhubungan. Karena
thariqat berperan dalam menanamkan akhlakul karimah pada setiap diri
muslim yang mengamalkannya, sekaligus membongkar semua jenis akhlak
buruk dari sarang-sarangnya seperti yang disebutkan diatas.
Jika
kita temui pengamal thariqat yang belum melaksanakan akhlakul karimah,
masih gemar mengumbar hawa nafsu, masih pemarah, suka bermusuhan, suka
dusta, licik, ingkar janji, sombong, senang berbuat kejahatan, malas dan
sejenisnya, maka bukan merupakan kesalahan amalan thariqat tetapi
pengamalnya itu yang harus berbenah diri dan lebih menghayati dzikir
lathaif yang selalu diamalkannya.
Sungguh
amat menggelikan jika orang-orang pengamal thariqat terlibat
perseteruan yang panjang, merasa benar sendiri dan tidak menerima
pendapat orang lain yang akhirnya dapat mencemarkan nama thariqat itu
sendiri bahkan lebih dari itu dapat menimbulkan keresahan
ditengah-tengah masyarakat. Sehingga orang dengan nada sinis berkata, “Oh begitu rupanya orang tahriqat”.
Sepatutnya kita hindari hal yang demikian. Sudah saatnya kita
menunjukkan kemuliaan ajaran thariqat yang datang dari sisi Allah itu
dengan sekuat tenaga melaksanakan akhlakul karimah rasulullah. Tunjukkan
kepada semua orang bahwa orang thariqat bukan orang bar-bar yang
urakan, orang tariqat adalah orang yang santun bertutur kata, orang yang
jujur, bersih, pemaaf, menghargai waktu, tepat janji, wangi, tidak
gemar menggosip, dan sejenisnya. Pada akhirnya marilah kita sama-sama berusaha untuk menjalankan Islam secara kaffah. Allahu a’lam
Comments
Post a Comment